Seemore of Yayasan Ahlu Shuffah Indonesia on Facebook. Log In. Forgot account?
Sebagaicontoh misalnya Bank Syariah Yogyakarta mengucurkan modal kepada Pak Ahmad -misalnya- sebesar Rp. 100.000.000,- dengan perjanjian bagi hasil 60% banding 40%. Setelah usaha berjalan dan telah jatuh tempo, Pak Ahmad mengalami kecurian, atau gudangnya terbakar atau yang serupa, sehingga modal yang ia terima dari bank hanya tersisa Rp. 20.000.000,-.
CeramahErwandi Tarmizi Apps On Google Play. Profil erwandi tarmizi-lahir di pekanbaru 30 september 1974, menuntaskan pendidikan d1 pedagogi bahasa arab lipia, 1994-1995 s1 syar
6 KATA PENGANTAR. Syukur Alhamdulillah, penulis ucapkan atas limpahan rahmat dan bimbingan Allah Swt, tesis yang berjudul "Analisis Pengaruh Kualitas Pelayanan Islami terhadap Kepuasan dan Kepercayaan Anggota di Pusat Koperasi Syariah Alkamil Jawa Timur" dapat terselesaikan dengan baik. Semoga ada guna dan manfaatnya.
. Sudah diketahui bahwa saat ini ada begitu banyak bank yang bisa dijadikan pilihan dalam menabung. Akan tetapi memilih bank syariah rekomendasi Ustadz Erwandi bisa menjadi prioritas. Karena sudah diketahui dalam hukum agama islam, penggunaan uang itu memiliki aturannya tersendiri. Jadi tidak bisa memilih asal terlebih masalah uang sangatlah sensitif. Memang bagi sebagian orang menganggap hal ini adalah masalah sepele dan tidak perlu dipikirkan. Padahal sebenarnya masalah bank ini juga menjadi sesuatu yang serius dan perlu dipikirkan. Terlebih bagi Anda yang lebih gemar menyimpan uang di bank dari pada disimpan secara manual. Jika kurangnya ilmu pastinya akan sangat menyayangkan akan penyimpanan uang yang ternyata termasuk riba’ tersebut. Mengenal Bank Syariah, Pengertian, Tujuan dan Fungsi Agar tidak salah dalam penentuan pemilihan, akan lebih baik jika memilih bank syariah rekomendasi Ustadz Erwandi. Karena itu merupakan rekomendasi yang diberikan dari ahlinya. Akan tetapi sebelum lebih jauh membahas mengenai rekomendasi yang diberikan, pahami dulu hal dasar mengenai pengertian, tujuan dan fungsinya. Jadi Anda bukan menjadi golongan orang yang tidak tau apapun mengenai bank syari'ah. Sehingga pada saat mendengarkan rekomendasi yang diberikan oleh ahlinya bisa menerima dengan baik. Tidak sedikit pula orang yang merasa dirinya paling hebat dan merasa paling benar. Dengan sifat tersebut kemudian menjadi diri yang keras dan tidak mau mendengarkan pendapat orang lain. 1. Pengertian Jika Anda salah satu orang yang nantinya akan mendengarkan bank syariah rekomendasi Ustadz Erwandi. Maka mulailah dari memahami pengertiannya terlebih dahulu. Pengertian dari bank syariah adalah sebuah bank yang didirikan dengan setiap aktivitas yang dijalaninya dalam melakukan usaha semuanya diatur berdasarkan prinsip dan hukum islam. Semua aturan yang ditetapkan itu berdasarkan dari fatma yang diberikan oleh Majelis Ulama Indonesia MUI. Dengan begitu segala prinsip yang diambil itu berdasarkan dari ahlinya terlebih dengan kaitan aktivitas keagamaan. Bagi yang tidak mengetahuinya, bank syariah juga memiliki logo layaknya bank Indonesia. Jika pada bank Indonesia berlogo BI, maka pada bank syariah memiliki logo IB atau Islamic banking. 2. Tujuan & Fungsinya Selain memiliki pengertian, bank syariah juga memiliki tujuan juga fungsinya. Jadi pada saat nantinya Anda akan mendengarkan bank syariah rekomendasi Ustadz Erwandi, sebaiknya hal ini juga wajib dimengerti. Dengan pemahaman yang sesuai, maka ketika mendengarkan nasihat atau rekomendasi yang diberikan mampu mencernanya dengan baik. Sehingga tidak salah dalam pengambilan langkah berikutnya. Di dirikannya bank syariah ini memiliki tujuan untuk bisa menjalankan lembaga keuangan, sehingga mampu membantu pelaksanaan pembangunan dan juga menstabilkan kesejahteraan rakyat. Hal tersebut juga sejalan dengan fungsi yang dimiliki oleh bank syariah yakni mencakup beberapa hal. Menurut versi OJK fungsi dari bank syariah adalah untuk menghimpun dan menyalurkan dana milik rakyat atau masyarakat khususnya umat muslim. Oleh karena itu akan lebih baik jika memilih bank syariah rekomendasi Ustadz Erwandi. Karena memang fungsi yang diberikan oleh bank syariah sangatlah beragam dan memiliki fungsi yang baik. Seperti berfungsi untuk menjalankan perekonomian sosial dalam bentuk baitul mal. Ini berupa dana yang diambil dari zakat, infak, sedekah dan berbagai dana sosial lainnya. Selain itu fungsi lain adanya bank syariah adalah untuk membantu menghimpun berbagai dana sosial yang masuk. Kemudian setelah itu disalurkan pada orang-orang yang membutuhkan. Bank Syariah Rekomendasi Ustadz Erwandi Berbicara soal bank syariah rekomendasi Ustadz Erwandi, ini akan menjadi pembahasan yang panjang. Karena pada intinya ustad Erwandi memiliki pandangannya tersendiri mengenai bank syariah. Bagi beliau, tidak semua bank yang berlabelkan syariah itu menjalankan hukum syariah yang sebenarnya. Karena ada beberapa sistem perbankan yang tetap menggunakan cara yang tidak sesuai dengan syariah islam. Oleh sebab itu maka bagi Anda yang ingin menggunakan bank syariah, sebaiknya sangat memperhatikan setiap detail hukum yang ditetapkan oleh bank tersebut. Jangan sampai salah pilih dalam menentukan bank syariah yang diinginkan. Bank yang dipercaya pasti menganut hukum syariah setidaknya memiliki prinsip atau akad murabaha. Prinsip tersebut hanya dimiliki oleh bank yang menganut hukum syariah. Oleh karena itu bank syariah rekomendasi Ustadz Erwandi adalah bank yang memiliki prinsipnya.
Diterbitkan pada - 31 Januari 2021 1000┏📜 🍃━━━━━━━━┓ 📣 ITTIBA Mengaji ┗━━━━━━━━📜 🍃┛Sahnya Jual Beli Secara Syar’i 📖 Syarah Kitab Fiqih Perbankan Syariah, Pengantar Fiqih Muamalah dan Aplikasinya dalam Ekonomi Modern karya Dr Yusuf Al Subaily 👤Ustadz Dr Erwandi Tarmizi MA 🗓️ 24 Oktober 2020 8 Rabi’ul Awwal 1442H🔘Rukun Bai’1. Pelaku transaksi penjual dan pembeli 2. Objek transaksi harga dan barang 3. Akad transaksi segala tindakan yang dilakukan kedua belah pihak yang menunjukkan mereka sedang melakukan transaksiTerdapat perbedaan mengenai rukun jualbeli dalam buku fiqih dan hadist dimana dalam hadist tidak terdapat rukun jualbeli, sedangkan dalam buku fiqih terdapat rukun dan adanya rukun dan syarat dalam buku fiqih adalah untuk memudahkan pemahaman dimana seluruh rukun dan syarat tersebut diambil dari hadist mengenai jualbeli.🔘Perbedaan rukun dan syaratRukun dan syarat jika tidak dilakukan maka menyebabkan sebuah ibadah tidak sah dan tidak rukun dan syarat dalam sholat⚫️Rukun– jika tidak melakukan rukun maka tidak sah solatnya. – contoh rukun solat berdiri, takbiratul ihram, membaca Al Fatihah, ruku, bangkit dari ruku disertai itidal, sujud, duduk antara dua sujud, dst – ketika rukun solat ada yang ditinggalkan dalam sebuah rakaat solah, maka rakaatnya batal dan wajib mengulang rakaat yang tidak sempurna tersebut baru kemudian di akhir melakukan sujud syahwi – Jika solat tidak sah, maka wajib melakukan solat kembali⚫️ Syarat – syarat bukan merupakan bagian dari solat – tapi jika syarat tidak dipenuhi, maka juga tidak sah solatnya – syarat harus ada dari awal hingga akhir ibadah dilakukanRukun dan syarat ini juga berlaku dalam jualbeli. – jika tidak melakukan rukun dalam jualbeli, maka tidak sah transaksinya. – jika barang/uang sudah diserahkan dengan transaksi yang tidak sah, maka barang/uangnya tidak halal🔘Bentuk AkadBentuk akad dibagi menjadi 21️⃣Dengan kata-kata yaitu dengan ijab kata-kata yang diucapakan terlebih dahulu dan qabul kata-kata yang diucapkan kemudian2️⃣Dengan perbuatanContoh Saat jual beli rumah dimana pembeli memberi cek seharga sekian tanpa mengucapkan kata-kata saya membeli. Kondisi ini menunjukkan pembeli bersedia membeli rumah tersebut.– Jika akad terjadi dengan tidak ada catatan/tulisan dan kata-kata, maka khilaf para ulama. – Mayoritas ulama mengatakan sah kecuali mahzab Syafi’i menyatakan tidak sah karena tidak adanya ijab qabul yang menyatakan ridho – Pada dasarnya jika diucapkan baik oleh penjual dan pembeli maka sudah pasti ridho. Namun, tidak ada dalil yang menyatakan keridhoan harus dengan kata-kata. Apabila perbuatan sudah menunjukkan hal tersebut maka pada dasarnya lain Vending machine dimana tidak ada kata-kata dalam melakukan pembelian. Pemilik vendong machine menyewa tempat dan selalu memeriksa stok dan uang. Kondisi ini sudah pasti pemilik melakukannya dengan tujuan ridho menjual. Sedangkan pembeli memilih barang di vending machine sesuai dengan keinginannya yang menunjukkan pembeli melakukannya dengan tujuan ridho membeli. Dengan demikian karena perbuatannya sudah jelas ridho, maka akad ini sah.– Jadi akad dengan perbuatan ini sah seperti halnya akad dengan kata-kata, kecuali akad nikah dimana wajib dilakukan dengan kata-kata.🔘Soal Jawab1️⃣ Soal Mengapa pada persyaratan ta’liq kiyah harus meminta persetujuan kepada orang lain? Apa karena barang yang dijual bukan milik penjual?✍️ JawabSyarat saya jual barang milik saya dengan syarat orang tertentu misal istri menjual barang yang bukan miliknya, maka hal ini tidak diperbolehkan. Kalau rukun yang dilanggar dimana objek jualbeli harus dimiliki, maka tidak sah saat Fulan mau menjual rumah miliknya, tetapi ketika akan dijual perlu minta izin pada istri, anak atau mertua yang ikut tinggal di rumah tersebut. Jika langsung dijual tanpa izin, maka akan membuat hidup dengan keluarga jadi tidak Soal Jika melakuan jual beli terpaksa kan tidak sah hukumnya, bagaimana dengan barang tersebut? Terpaksa karena perasaan tidak enak jika tidak membeli barang milik teman walaupun sebenarnya tidak butuh barang tersebut.✍️ Jawab Kondisi terpaksa adalah kondisi dimana berada di bawah tekanan yang membahayakan jiwa dan hartaJika beli karena kondisi kasihan atau tidak enakan bukan terpaksa jual beli muhabah mayoritas menyatakan sah dan tidak masuk dalam kategori terpaksaContoh mengenai kisah Ammar bin Yasir. – Ammar bin Yasir yang tuannya memaksanya kembali ke agama tuannya dengan siksaan yang kejam. Kemudian dia mengatakan kembali pada agama tuannya. Setelah itu Ammar bin Yasir menemui Rasul dan akhirnya turun firman Allah QS An-Nahl106– An-Nahl 106 مَن كَفَرَ بِٱللَّهِ مِنۢ بَعۡدِ إِيمَٰنِهِۦٓ إِلَّا مَنۡ أُكۡرِهَ وَقَلۡبُهُۥ مُطۡمَئِنُّۢ بِٱلۡإِيمَٰنِ وَلَٰكِن مَّن شَرَحَ بِٱلۡكُفۡرِ صَدۡرٗا فَعَلَيۡهِمۡ غَضَبٞ مِّنَ ٱللَّهِ وَلَهُمۡ عَذَابٌ عَظِيمٞ Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman dia mendapat kemurkaan Allah, kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman dia tidak berdosa, akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.– Yang penting adalah hatinya tenang dengan permintaan dari pihak tertentu hanya bersifat ancaman, maka belum dianggap terpaksa. Namun, jika memang sudah dikenal kejam kemudian memberikan ancaman, maka bisa masuk kategori terpaksa dan boleh tetap tidak sah, baik uang yang diterima maupun barang yang diserahkan tidak sah. Misalkan harga pasar tanah 2jt/meter, kemudian dijual secara terpaksa daripada tidak ada uang yang diperoleh hanya 500rb/meter. Maka 500rb/meter tersebut halal dan sisanya tidak halal dan akan menjadi hutang pembeli yang akan dibayar di Soal Membeli pakaian ke reseller untuk dijual lagi. Jika sudah ada pesanan dari calon pembeli, baru kemudian memesan ke reseller dengan cash di depan dan langsung transfer. Reseller tersebut tidak memiliki barang dimanaApakah dengan pembayaran cash di depan ini artinya boleh melakukan penjualan ke calon pembeli? Dan apakah akadnya termasuk akad salam?✍️ Jawab Jika barangnya sudah ready stok, maka bisa dengan akad salam. Walaupun jika jaraknya pendek antara pembayaran dan serahterima barang, sebagian ulama menyatakan tidak Soal Membayar dengan lunas barang ready stok yang ada di marketplace yang dikirim 3 hari kemudian. Apakah termasuk bai’ salam.✍️ Jawab Uang diserahkan di majelis akad atau tidak?Pembeli tutup aplikasi masiJika pembeli dan penjual masih berada di majelis misal via chatting dan kemudian pembeli transfer uang, maka diperbolehkan. Akan tetapi jika berpisah misal pembeli tutup aplikasi dan ke atm untuk bayar, maka tidak sah syarat juga barang bukan dgn spek yang ditunjuk. Misal jualbeli baju dimana pembeli menunjuk 1 baju tertentu yang diinginkannya, maka ini bukan jual beli salam tapi jual beli beli ain boleh kalo barang sudah menjadi milik penjual5️⃣ Soal Apakah boleh menjual barang siap jual/ready stok yang belum dimiliiki dengan alasan akad salam? Contoh membeli beras 1ton dan penjual berjanji dapat dipenuhi dalam 3 hari. Sementara pada saat akad penjual tidak memiliki 1ton di tokonya tetapi hanya 100kg.✍️ JawabKalau uang diserahterimakan di majelis, maka bisa disebut akad salam. Tapi jika tidak diserahterimakan di majelis, maka termasuk jualbeli barang yang belum Soal Bagaimana hukum jual beli emas dengan vending machine? Pola transaksinya seperti umumnya vending machine yang memilih jenis emas yang diinginkan dan dibayar dengan kartu debit lalu keluar emasnya.✍️ Jawab Untuk barang yang harganya mahal, sebagian ulama menyatakan tidak barang yang harganya relatif murah/tidak mahal, maka sepakat para ulama memperbolehkan kecuali mahzab membeli emas, maka juga harus ada sertifikat karena kalo tidak harganya bisa turun. Jika membeli barang seperti minuman, maka Soal Berapa lama jarak waktu penyerahan barang hingga layak disebut akad salam?✍️ Jawab Terdapat khilaf para ulama.– Dalam mahzab Syafii setengah hari sehari boleh – Jumhur ulama tidak memperbolehkan setengah atau satu hari karena pada zama Rasul jaraknya 1, 2, 3 tahun untuk mendapatkan kurma pada musim panen berikutnya. Pembelian dengan akad salam dilakukan pada saat belum musim kurma/tidak ada dasarnya tidak boleh menjual barang yang tidak dimiliki, akan tetapi Rasul dibolehkan karena penjual dan pembeli mendapat keuntungan, yaitu – keuntungan penjual mendapat uang untuk modal – keuntungan pembeli mendapat harga lebih murahJika hikmahnya tidak ada, maka tidak tercapai tujuan akad salam dan kembali ke hukum asalnya yaitu tidak boleh menjual barang yang belum karena itu terdapat perbedaan pendapat antara jarak transaksi akad dengan serahterima barang. Ada yang mengatakan 1 thn, 6 bulan, 3 bulan, 2 bulan atau yang paling pendek 1 bulan untuk dapat dikatakan sebagai dasarnya dinamakan salam jika waktu antara akad dengan serah terima barang menyebabkan perubahan harga. Kondisi ini menunjukkan terdapat manfaat bagi kedua belah pihak. Jika hanya jarak sehari maka tidak ada perbedaan harga dan sebagian ulama tidak memperbolehkan sementara mahzab Syafii menyatakan Soal Berbisnis dengan orangtua dimana modal diberikan orangtua dan keuntungan dibagi 2 dan kerugian juga dibagi 2 penjual rugi dalam bentuk pengelolaan yang tidak menghasilkan dan pemodal rugi tidak mendapat keuntungan apapunMisal modal 5juta, kemudian setelah akad alat komunikasi rusak. Pengeluaran 3 juta untuk alat komunikasi dan 2 juta untuk barang. Karena waktu yang sudah lama berjalan, kemudian orangtua sebagai pemodal minta dikembalikan uang sebesar 5jt tersebut.✍️ Jawab Jika modal dari orangtua, kembalikan saja modalnya dan rugi menjadi tanggungan Soal Menjual kitab dan AlQuran dengan menerima order dari seorang pembeli dan kemudian penjual diminta langsung untuk mengirim kitab tersebut ke suatu tempat untuk diwakafkan. Dalam prosesnya, penjual meminta dari produsen/penerbit untuk kirim langsung ke pembeli.✍️ JawabJika akadnya jual beli, tidak boleh menjual jika belum memiliki dan menerima barang. Yang dapat diperbolehkan jika merubah akadnya sebagai perwakilan pembeli dan menerima ingin akad jual beli yang sah, maka penjual harus membeli dulu dari penerbit setelah mengetahui kebutuhan dari calon pembeli. Kemudian setelah terima barang dari produsen, baru kemudian menghubungi calon pembeli apakah jadi beli kitabnya atau tidak. Jika pembayaran dilakukan ketika barang sudah dalam kasus ini posisi penjual di Balikpapan, penerbit di Jakarta dan pembeli di Bandung, maka agar transaksinya sah, penjual dapat merubah akad sebagai wakil dari pembeli untuk kemudian melakukan jual beli dengan penerbit.🔟 Soal Melakukan kerjasama dengan travel umroh dan mendapat pembiayaan dari bank syariah. Mekanismenya jamaah melakukan umroh dengan dibiayai dulu oleh bank. Kemudian pembayaran dilakukan dengan dicicil selama 5 bulan. Dalam pembayaraan tidak ada denda keterlambatan dan pembiayaan ini juga dicover dengan asuransi syariah untuk menghindari ketidakmampuan membayar. Apakah hal ini diperbolehkan?✍️ JawabKalau tidak ada denda keterlambatan maka Soal Apakah masih dibolehkan melanjutkan akad sebagai reseller dengan distributor yang pada saat mendaftar jadi reseller mensyaratkan pembayar di awal, apakah berdosa?✍️ Jawab Transaksi untuk menjadi member ini haram, adapun jualbeli selanjutnya tidak Soal Penanya melakukan penjualan berdasarkan pesanan, ketika ada yang pesan baru kemudian dibeli. Contoh barangnya hp, laptop dll. Permasalahannya jika terdapat permintaan barang yang spesifikasinya sulit. Untuk barang jenis ini, biasa dilakukan dengan meminta orang lain untuk mencarikannya dan kemudian dikasi uang transport. Bagaimana hukumnya apakah dibolehkan?✍️ JawabYang diperbolehkan adalah dengan memberikan uang pada wakil untuk membelikan barang kondisi ini belum terjadi akad. Kemudian setelah barang dibeli oleh wakil, barang kemudian diserahkan ke penanya. Baru kemudian ditanyakan ke calon pembeli apakah jadi membeli barang atau tidak, jika tidak jadi maka itu menjadi resiko penanya.🔘PenutupMempelajari syariat Allah tidak cukup dengan berdasarkan logika. Kalau cukup dengan logika, maka Allah tidak akan mengutus hal-hal bisa dinalari sendiri ada yang berdasarkan syariat Allah. Rasulullah menjadi rahmat bagi kita semua dan akan menjadi rahmat bagi kita ketika kita mempelajarinya, adapun ketika kita berpaling atau tidak mau mengamalkannya maka akan menjadi dosa bagi kita di dunia dan akhirat. Post Views 146
Murabahah, produk andalan bank syariah, ternyata menyimpan masalah besar, jika tidak boleh dikatakan sangat bermasalah. Melalui produk ini, bank syariah telah melanggar setidaknya tiga hadis. Artikel ini pernah diterbitkan oleh majalah cetak Pengusaha Muslim Indonesia, Edisi 25 Oleh Ustad Dr. Erwandi Tarmizi Murabahah, dalam istilah ulama fikih terdahulu, menjadi bagian jual-beli amanah. Pada salah satu bentuk jual-beli ini, penjual menyebut harga pokok barangnya dan mensyaratkan laba sejumlah tertentu kepada pembeli.[1] Di awal bank syariah berdiri, beberapa ekonom Muslim menawarkan produk murabahah yang telah dimodifikasi, dengan menambahkan janji antara pembeli dan penjual untuk bertransaksi jual-beli murabahah bila barang yang dipesan telah dibeli pihak bank. Nama jual-beli ini berubah menjadi murabahah lil aamir bisy-syiraa’. Berikut contoh murabahah lil aamir bisy-syiraa’. Sebuah rumah sakit membutuhkan alat-alat kesehatan. Ia datang ke bank syariah untuk mendapatkan pembiayaan. Bank syariah tidak memberikan uang. Tetapi berjanji akan membelikan alat-alat kesehatan. Pihak rumah sakit juga berjanji membeli barang itu. Bank syariah menjual barang itu ke pihak rumah sakit dengan akad murabahah. Harganya Rp 700 juta plus laba 30 persen. Jual-beli kredit ini harus dilunasi dua tahun, dengan delapan kali pembayaran. Alat-alat kesehatan itu kemudian diserahkan ke pihak rumah sakit. Murabahah merupakan urat nadi produk investasi perbankan syariah. Dr. Sulaiman Al Asyqar memperkirakan, pada dekade 1980-an, hampir 90 persen investasi perbankan syariah berbentuk pembiayaan murabahah. Namun dari sisi kemajuan ekonomi, produk ini ternyata tidak memberi adil berarti. Dalam Muktamar V di Kuwait, 1988, anggota Majma’ Al Fiqh Al Islami Divisi Fikih Organisasi Konferensi Islam/OKI merekomendasikan agar perbankan syariah mengurangi pembiayaan murabahah, dan beralih ke pembiayaan mudharabah dan musyarakah dengan membangun proyek-proyek industri yang dapat memajukan ekonomi. Hukum Murabahah Hukum murabahah dibolehkan bila terpenuhi syarat-syarat sah jual-beli. Sebagaimana diputuskan Lembaga Fatwa Kerajaan Arab Saudi No. 2020 “Apabila seseorang memohon ke pihak kedua agar pihak kedua membeli mobil dengan spesifikasi tertentu dan pihak pertama berjanji membelinya dari pihak kedua, maka bila mobil telah dibeli pihak kedua dan telah diterimanya boleh dijual kepada pihak pertama secara tunai atau kredit dengan laba yang disepakati bersama.”[2] Juga dibolehkan berdasarkan keputusan Muktamar V anggota Majma’ Al Fiqh Al Islami Divisi Fikih OKI di Kuwait, 1988 “Murabahah lil âmir bisysyiraa’ apabila dilangsungkan terhadap objek barang yang telah dimiliki sebelumnya oleh pihak bank dan telah diterima sesuai dengan ketentuan syariat, hukumnya dibolehkan selama tanggung-jawab barang sebelum diserahkan ke pihak nasabah ditanggung bank. Jika terdapat cacat pada barang juga menjadi tanggung jawab bank. Juga setelah terpenuhi seluruh persyaratan jual-beli dan tidak terdapat mawani’ faktor penghalang keabsahan sebuah akad.”[3] Praktek Murabahah di Bank Syariah Menurut Muhammad Abdus Shomad, SE, MM, mantan praktisi sebuah bank syariah ternama, di bank syariah, praktek pembiayaan murabahah di bank syariah da dua model. Berikut penjelasan dua moden itu beserta contohnya. Model 1 Seseorang ingin membeli rumah datang ke bank. “Saya ingin membeli rumah, misalnya, yang dijual si Fulan developer dengan harga Rp 100 juta,” katanya kepada bank. Setelah melalui proses analisa dan survai, pihak bank menulis akad jual-beli pihaknya dengan calon nasabahya itu. Setelah melalui perhitungan tertentu, pihak bank mengatakan, “Saya akan jual kepadamu rumah itu dengan harga Rp 150 juta untuk jangka lima tahun.” Pihak bank lalu memberikan uang ke calon nasabah itu sejumlah harga rumah, dengan mengatakan, “Silakan beli rumah itu.” Pihak bank tetap di kantornya, tidak mendatangi pemilik rumah. Tanggapan Pada praktek murabahah Model 1 terdapat dua kesalahan. Pertama, akad jual-beli murabahah langsung disepakati antara pihak bank syariah dan nasabah. Padahal rumah belum jadi milik bank. Bila transaksi ini terjadi, akad murabahahnya tidak sah dan hukum jual-belinya diharamkan berdasarkan sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Dari Hakim bin Hizam, ia berkata, “Wahai, Rasulullah, seseorang datang kepadaku untuk membeli suatu barang, kebetulan barang tersebut sedang tidak kumiliki, apakah boleh aku menjualnya kemudian aku membeli barang yang diinginkan dari pasar? Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menjawab,’Jangan engkau jual barang yang belum engkau miliki!’” HR. Abu Daud. Hadis ini disahihkan oleh Al-Albani. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidak halal menggabungkan antara akad pinjaman dan jual-beli, tidak halal dua persyaratan dalam satu jual-beli, tidak halal keuntungan barang yang tidak dalam jaminanmu dan tidak halal menjual barang yang bukan milikmu” HR. Abu Daud. Menurut Al-Albani, derajat hadis ini hasan shahih. Dalam kasus jual-beli rumah itu, bank syarih belum memilikinya, tapi telah menjualnya ke nasabah. Praktek ini dilarang Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sebagaimana ditegaskan oleh hadis tersebut, karena termasuk menjual barang yang belum dimiliki bank. Panduan perbankan syariah yang disusun AAOIFI Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions, yang berpusat di Bahrain, ditegaskan, “Haram hukumnya pihak lembaga keuangan menjual barang dalam bentuk murabahah sebelum barang dimilikinya. Maka, tidak sah hukumnya kedua belah pihak menandatangani akad murabahah sebelum pihak lembaga keuangan syariah membeli dan menerima barang yang dipesan nasabah dari pihak penjual pertama.”[4] Kedua, yang diberikan bank ke nasabah adalah uang, dan bukan rumah. Artinya, bank memberikan sejumlah uang ke nasabah untuk membeli rumah itu. Ini termasuk transaksi riba. Karena bank memberikan uang tunai Rp 100 juta dan akan menerima Rp 150 juta setelah lima tahun. Akad murabahah hanya kamuflase di atas kertas. Model 2 Sama dengan Model 1, dengan tambahan pihak bank menghubungi penjual rumah/developer dan mengatakan, “Rumah Anda di lokasi ini telah aku beli Rp 100 juta.” Kemudian pihak bank mentransfer uang ke penjual/developer. Pihak bank mengatakan kepada calon calon pembeli rumah, “Silakan ambil rumahnya. Kami menjualnya kepada Anda seharga Rp 150 juta secara kredit.” Dengan demikian, bank mendapat keuntungan Rp 50 juta. Tanggapan Kesalahan dalam praktek murabahah Model 2 adalah pihak bank menjual rumah ke nasabah tanpa lebih dulu menerima rumah itu dari developer. Karena bank hanya mentransfer uang ke developer, tanpa studi tapak dan memeriksa rumah tersebut. Akad jual-beli murabahah ini statusnya fasid batal dan haram. Terdapat larangan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengenai menjual barang sebelum diterima penjual. Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, beliau mengatakan, “Wahai Rasulullah, saya sering jual-beli, apa jual-beli yang halal dan haram? Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,”Wahai anak saudaraku, bila engkau membeli sebuah barang jangan dijual sebelum barang tersebut engkau terima“HR. Ahmad dan dihasankan Imam Nawawi. Hadis ini menjelaskan, haram hukumnya menjual barang yang telah dibeli namun fisik barangnya belum diterima[5]. Juga diriwayatkan Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma, “Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melarang seseorang menjual bahan makanan yang telah dibelinya sebelum ia menerimanya. Seseorang bertanya kepada Ibnu Abbas, Kenapa dilarang? Ibnu Abbas menjawab, Karena dirham ditukar dengan dirham sedangkan bahan makanan ditangguhkan’” HR. Bukhari. Hadis tersebut jelas melarang menjual barang yang telah dibeli namun fisiknya belum diterima. Ibnu Abbas menjelaskan alasan pelarangan jual-beli itu sama dengan riba bai’ jual-beli. Hal ini karena saat pihak pertama membeli barang dari penjual 100 dirham kemudian dijual kembali ke pihak kedua 120 dirham, sama dengan menukar 100 dirham dengan 120 dirham ini dinamakan riba ba’i, sementara barang yang menjadi objek akad tetap di tangan penjual[6]. Demikian pula sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, “Tidak halal menggabungkan antara akad pinjaman dan jual-beli. Tidak halal dua persyaratan dalam jual-beli. Tidak halal keuntungan penjualan barang yang tidak dalam jaminanmu dan tidak halal menjual barang yang bukan milikmu” HR. Abu Daud. Al-Albani menyatakan, hadis ini hasan shahih. Sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, “Tidak halal keuntungan penjualan barang yang tidak dalam jaminanmu“, artinya, tidak halal memperoleh keuntungan dari penjualan barang yang telah dibeli, namun fisiknya belum diterima. Karena ketika barang itu belum diterima, maka jaminan barang tersebut berada dalam tanggungan penjual pertama. Dalam murabahah Model 2, setelah rumah dibeli pihak bank dari developer melalui telepon dan sebelum diterima oleh nasabah, jaminan risiko rumah ditanggung developer. Andaikata rumah tersebut terbakar, developer yang bertanggung jawab, bukan pihak bank. Dengan demikian pihak bank telah mendapat untung dari murabahah tanpa menanggung risiko barang. Keuntungan ini hukumnya tidak halal.*** Pull Quote Jangan engkau jual barang yang belum engkau miliki Tidak halal menggabungkan antara akad pinjaman dan jual-beli, tidak halal dua persyaratan dalam satu jual-beli, tidak halal keuntungan barang yang tidak dalam jaminanmu. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melarang seseorang menjual bahan makanan yang telah dibelinya sebelum ia menerimanya. Resume Murabahah adalah menjual barang dengan menyebutkan harga barang, sementara penjual menetapkan laba tertentu. Ada tiga pihak yang dilibatkan dalam transaksi ini penjual pertama, penjual kedua diwakili bank, dan pembeli nasabah. Para ekomon Islam menawarkan produk murabahah yang termodifikasi, yang dikenal sebagai murabahah lil aamir bisy-syiraa’. Salah satu bentuknya, memesan barang X ke bank, dengan perjanjian pembeli akan membeli barang X dengan keuntungan tertentu, setelah bank membelinya serta telah terjadi pindah tangan dari penjual pertama. Transaksi murabahah dibolehkan dengan syarat 1 Barang telah resmi dibeli oleh penjual kedua bank; 2 Barang telah dipindah-tangankan ke penjual kedua bank, dan menjadi tanggungan bank; dan 3 Belum terjadi akad dan transaksi jual-beli antara bank dan nasabah, sebelum ada serah terima barang dari penjual pertama kepada pihak bank. Ada dua model murabahah yang diterapkan bank syariah. Pertama A mendatangi bank untuk membeli rumah. Kemudian bank melakukan survai rumah bukan membeli. Selanjutnya bank menetapkan harga yang lebih mahal, lalu bank menyerahkan sejumlah uang seharga nilai rumah, agar nasabah membeli rumah tersebut. Transaksi ini melanggar dua aturan syariah, karena 1 Bank menjual barang yang belum menjadi miliknya; dan 2 Sejatinya, bank hanya meminjamkan uang ke nasabah dan bukan menjual rumah ke nasabah. Sementara nasabah berkewajiban mengembalikan lebih. Dan ini murni riba. Kedua, A mendatangi bank untuk membeli rumah. Kemudian bank mentransfer uang seharga rumah kepada developer. Selanjutnya rumah tersebut dijual ke nasabah dengan harga lebih mahal, sebelum bank menerima rumah tersebut dari developer. Transaksi ini melanggar dua aturan syariah 1 Bank telah menjual barang sebelum diserah terimakan. Dan ini melanggar hadis; 2 Bank mengambil keuntungan dari penjualan barang yang belum menjadi tanggungan bank. Karena ketika rumah itu dijual ke nasabah, rumah tersebut masih menjadi tanggungan developer. Konsekwensi orang yang siap menerima keuntungan adalah dia harus siap menanggung risiko kerugian. [1] Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaytiyyah, jilid XXXVI, hal 318. [2] Fatawa Lajnah Daimah, jilid XIII, hal 153. [3] Journal Fiqh Council, edisi v, jilid II, hal 965. [4] AAOIFI, Al Ma’ayir As Syar’iyyah, hal 94. [5] Dr. Sulaiman At Turky, Bai’ Taqsith wa Ahkamuhu, hal 125. [6] Ibid. didukung oleh Zahir Accounting Software Akuntansi Terbaik di Indonesia. Dukung Yufid dengan menjadi SPONSOR dan DONATUR. SPONSOR hubungi 081 326 333 328 DONASI hubungi 087 882 888 727 REKENING DONASI BNI SYARIAH 0381346658 / BANK SYARIAH MANDIRI 7086882242 YAYASAN YUFID NETWORK KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO BELAJAR IQRO, ATAU HUBUNGI +62813 26 3333 28
MENCARI SOLUSI BANK SYARIAHOlehUstadz Muhammad Arifin Badri MASegala puji hanya milik Allah Ta’ala, Dzat yang telah melimpahkan berbagai kenikmatan kepada kita. Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam , keluarga, dan seluruh sahabatnya. Islam –segala puji hanya milik Allah– bersifat universal, mencakup segala urusan, baik yang berkaitan dengan masalah ibadah maupun muamalah, sehingga syariat Islam benar-benar seperti difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’alaاَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗPada hari ini, telah Aku sempurnakan untukmu agama mu, dan telah aku cukupkan atasmu kenikmatan-Ku, dan Aku ridha Islam menjadi agamamu”. [al-Mâ`idah/53]Al-hamdulillah, fakta ilahi ini mulai disadari kembali oleh umat Islam, sehingga kini, kita mulai mendengar berbagai seruan untuk menerapkan syariat ilahi ini dalam segala aspek kehidupan. Termasuk wujud dari kesadaran ini, yakni berdirinya berbagai badan keuangan perbankan yang mengklaim dirinya berazaskan syariat. Fenomena ini patut mendapatkan perhatian, partisipasi dan dukungan dari kita, agar laju perkembangan dan langkahnya tetap lurus sebagaimana yang digariskan syariat Islam. Dan pada kesempatan ini, saya ingin sedikit berpartisipasi, yaitu dengan menyebutkan beberapa hal, yang menurut hemat saya perlu yang saya lakukan ini, mendapat tanggapan dan respon positif dari saudara-saudara kita yang berkepentingan dalam masalah Pertama Peranan Ganda Perbankan syariat yang ada telah mengklaim bahwa mudharabah merupakan asas bagi berbagai transaksi yang dijalankannya, baik transaksi antara nasabah pemilik modal dengan perbankan, maupun transaksi antara pihak perbankan dengan nasabah pelaku usaha. Akan tetapi, pada penerapannya, saya mendapatkan suatu kejanggalan, yaitu peran status ganda perbankan yang saling menjelaskan permasalahan ini, cermatilah skema 1. Skema Peran Perbankan SyariahBank berperan sebagai pelaku usaha, yaitu ketika berhubungan dengan nasabah sebagai pemilik modal. Namun dalam sekejap status ini berubah, yaitu bank berperan sebagai pemodal ketika pihak perbankan berhadapan dengan pelaku usaha yang membutuhkan dana untuk mengembangkan ganda yang diperankan perbankan ini membuktikan bahwa akad yang sebenarnya dijalankan oleh perbankan selama ini adalah akad utang piutang, dan bukan akad mudharabah. Yang demikian itu, karena, bila ia berperan sebagai pelaku usaha, maka status dana yang ada padanya adalah amanah yang harus dijaga sebagaimana layaknya menjaga amanah lainnya. Dan yang dimaksud dengan amanah dari pemodal, ialah mengelola dana tersebut dalam usaha nyata yang akan mendatangkan hasil keuntungan, sehingga bank, tidak semestinya menyalurkan modal yang ia terima dari nasabah pemodal ke pengusaha lain dengan akad mudharabah. Sehingga, bila ia berperan sebagai pemodal, maka ini mendustakan kenyataan yang sebenarnya, yaitu sebagian besar dana yang dikelola adalah milik an-Nawawi berkata, “Hukum kedua tidak dibenarkan bagi pelaku usaha mudharib untuk menyalurkan modal yang ia terima kepada pihak ke tiga dengan perjanjian mudharabah. Bila ia melakukan hal itu atas seizin pemodal, sehingga ia keluar dari akad mudharabah pertama dan berubah status menjadi perwakilan bagi pemodal pada akad mudharabah kedua ini, maka itu dibenarkan. Akan tetapi ia tidak dibenarkan untuk mensyaratkan untuk dirinya sedikitpun dari keuntungan yang diperoleh. Bila ia tetap mensyaratkan hal itu, maka akad mudharabah kedua bathil”.[1]Ucapan senada juga diutarakan oleh Imam Ibnu Qudamah al-Hambali, ia berkata, “Tidak dibenarkan bagi pelaku usaha untuk menyalurkan modal yang ia terima kepada orang lain dalam bentuk mudharabah, demikian penegasan Imam Ahmad. . . . Pendapat ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, asy-Syafi’i dan aku tidak mengetahui ada ulama’ lain yang menyelisihinya”. [2]Dalam akad mudharabah, bila perbankan memerankan peranan ganda semacam ini, atas seizin pemodal sedangkan ia tidak ikut serta dalam menjalankan usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha kedua, maka bank tidak berhak mendapatkan bagian dari keuntungan, karena statusnya hanyalah sebagai perantara calo. Para ulama’ menjelaskan bahwa alasan hukum ini adalah karena hasil/ keuntungan dalam akad mudharabah hanyalah hak pemilik modal dan pelaku usaha, sedangkan pihak yang tidak memiliki modal, dan tidak ikut serta dalam pelaksanaan usaha, maka ia tidak berhak untuk mendapatkan bagian dari hasil.[3]Tinjauan Kedua Bank Tidak Memiliki Usaha keuangan yang menamakan dirinya sebagai perbankan syariah seakan tidak sepenuh hati dalam menerapkan sistem perekonomian Islam. Badan-badan tersebut berusaha untuk menghindari sunnatullah yang telah Allah Ta’ala tentukan dalam dunia usaha. Sunnatullah tersebut berupa pasangan sejoli yang tidak mungkin dipisahkan, yaitu untung dan rugi. Operator perbankan syariah senantiasa menghentikan langkah syariat pada tahap yang aman dan tidak karena itu, perbankan syariah yang ada –biasanya- tidak atau belum memiliki usaha nyata yang dapat menghasilkan keuntungan. Semua jenis produk perbankan yang mereka tawarkan hanyalah sebatas pembiayaan dan pendanaan. Dengan demikian, pada setiap unit usaha yang dikelola, peran perbankan hanya sebagai penyalur dana nasabah.[4]Sebagai contoh nyata dari produk perbankan yang ada ialah mudharabah. Operator perbankan tidak berperan sebagai pelaku usaha, akan tetapi sebagai penyalur dana nasabah. Hal ini mereka lakukan, karena takut dari berbagai resiko usaha, dan hanya ingin mendapatkan keuntungan. Bila demikian ini keadaannya, maka keuntungan yang diperoleh atau dipersyaratkan oleh perbankan kepada nasabah pelaksana usaha adalah haram, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama, di antaranya sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam an-Nawawi di Ketiga Bank Tidak Siap Menanggung kita menutup mata dari kedua hal di atas, maka masih ada masalah besar yang menghadang langkah perbankan syariah di negeri kita. Hal tersebut ialah, ketidaksiapan operator perbankan untuk ikut menanggung resiko mudharabah yang mereka jalin dengan para pelaku usaha. Bila pelaku usaha mengalami kerugian, walaupun tanpa disengaja, niscaya kita dapatkan perbankan segera ambil langkah seribu dengan cara meminta kembali modal yang telah ia kucurkan dengan utuh. Hal ini menjadi indikasi bahwa akad antara perbankan dengan nasabah pelaku usaha bukanlah mudharabah, akan tetapi hutang-piutang yang berbunga alias ulama’ dari berbagai mazhab telah menegaskan bahwa pemilik modal tidak dibenarkan untuk mensyaratkan agar pelaku usaha memberikan jaminan seluruh atau sebagian modalnya. Sehingga apa yang diterapkan pada perbankan syari’ah, yaitu mewajibkan atas pelaku usaha untuk mengembalikan seluruh modal dengan utuh bila terjadi kerugian usaha adalah persyaratan yang batil.[5] Dan dalam ilmu fiqih, bila pada suatu akad terdapat persyaratan yang batil, maka solusinya ada adalah satu dari dua hal berikutAkad beserta persyaratan tersebut tidak sah, sehingga masing-masing pihak terkait harus mengembalikan seluruh hak-hak lawan dapat diteruskan, akan tetapi dengan meninggalkan persyaratan contoh misalnya Bank Syariah Yogyakarta mengucurkan modal kepada Pak Ahmad –misalnya- sebesar Rp. dengan perjanjian bagi hasil 60% banding 40%. Setelah usaha berjalan dan telah jatuh tempo, Pak Ahmad mengalami kecurian, atau gudangnya terbakar atau yang serupa, sehingga modal yang ia terima dari bank hanya tersisa Rp. Dalam keadaan semacam ini, Bank Syariah Yogyakarta akan tetap meminta agar Pak Ahmad mengembalikan modalnya utuh, yaitu Rp. operator perbankan syariat akan berdalih, bahwa dalam dunia usaha, uang kembali seperti semula tanpa ada keuntungan adalah kerugian. Dengan demikian perbankan telah ikut serta menanggung kerugian yang terjadi. Maka kita katakan Alasan serupa juga dapat diutarakan oleh pelaksana usaha dalam dunia usaha, seseorang bekerja tanpa mendapatkan hasil sedikit pun adalah kerugian. Andai ia bekerja pada suatu perusahaan, niscaya ia akan mendapatkan gaji yang telah disepakati, walau perusahaan sedang merugi. Bahkan dalam akad mudharabah dengan perbankan syariat, pelaku usaha merugi dua kali, yaitu Pertama, ia telah bekerja banting tulang, peras keringat, dan pada akhirnya tidak mendapatkan hasil sedikitpun. Kedua, ia masih juga harus menutup kekurangan yang terjadi pada modal yang pernah ia terima dari lain dari produk perbankan syariat ialah bai’ al-Murabahah. Bentuknya kurang lebih demikian; bila ada seseorang yang ingin memiliki motor, ia dapat mengajukan permohonan ke salah satu perbankan syariah agar Bank tersebut membelikannya. Selanjutnya pihak bank akan mengkaji kelayakan calon nasabahnya ini. Bila permintaannya diterima, maka bank akan segera mengadakan barang yang dimaksud dan segera menyerahkannya kepada pemesan, dengan ketentuan yang sebelumnya telah disepakati.[6]Sekilas akad ini tidak bermasalah, akan tetapi bila kita cermati lebih seksama, maka akan nampak dengan jelas bahwa pihak bank berusaha untuk menutup segala risiko. Oleh karenanya, sebelum bank mengadakan barang yang dimaksud, bank telah membuat kesepakatan jual-beli dengan segala ketentuannya dengan nasabah. Dengan demikian, bank telah menjual barang yang belum ia miliki, dan itu adalah ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَقْبِضَهُ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَأَحْسِبُ كُلَّ شَيْءٍ بِمَنْزِلَةِ الطَّعَامِ. Dari sahabat Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma ia menuturkan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda “Barang siapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya” Ibnu Abbas berkata Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan. Muttafaqun alaih.Pemahaman Ibnu Abbas ini didukung oleh riwayat Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits berikutعَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ ابْتَعْتُ زَيْتًا فِي السُّوقِ فَلَمَّا اسْتَوْجَبْتُهُ لِنَفْسِي لَقِيَنِي رَجُلٌ فَأَعْطَانِي بِهِ رِبْحًا حَسَنًا فَأَرَدْتُ أَنْ أَضْرِبَ عَلَى يَدِهِ فَأَخَذَ رَجُلٌ مِنْ خَلْفِي بِذِرَاعِي فَالْتَفَتُّ فَإِذَا زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ فَقَالَ لَا تَبِعْهُ حَيْثُ ابْتَعْتَهُ حَتَّى تَحُوزَهُ إِلَى رَحْلِكَ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ تُبَاعَ السِّلَعُ حَيْثُ تُبْتَاعُ حَتَّى يَحُوزَهَا التُّجَّارُ إِلَى رِحَالِهِمْ رواه أبو داود والحاكم Dari sahabat Ibnu Umar, ia mengisahkan “Pada suatu saat saya membeli minyak di pasar, dan ketika saya telah selesai membelinya, ada seorang lelaki yang menemuiku dan menawar minyak tersebut, kemudian ia memberiku keuntungan yang cukup banyak, maka akupun hendak menyalami tangannya guna menerima tawaran dari orang tersebut. Tiba-tiba, ada seseorang dari belakangku yang memegang lenganku. Maka aku pun menoleh, dan ternyata ia adalah Zaid bin Tsabit, kemudian ia berkata Janganlah engkau menjual minyak itu di tempat engkau membelinya, hingga engkau pindahkan ke tempatmu, karena Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melarang dari menjual kembali barang di tempat barang tersebut dibeli, hingga barang tersebut dipindahkan oleh para pedagang ke tempat mereka masing-masing’.” [HR Abu Dawud dan al-Hakim].[7]Para ulama menyebutkan hikmah dari larangan ini, di antaranya ialah karena barang yang belum diterimakan kepada pembeli bisa saja batal, karena suatu sebab, misalnya barang tersebut hancur terbakar, atau rusak terkena air dan lain-lain, sehingga ketika ia telah menjualnya kembali ia tidak dapat menyerahkannya kepada pembeli kedua kedua, seperti yang dinyatakan oleh Ibnu Abbas t ketika muridnya, yaitu Thawus mempertanyakan sebab larangan iniقُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ كَيْفَ ذَاكَ قَالَ ذَاكَ دَرَاهِمُ بِدَرَاهِمَ وَالطَّعَامُ مُرْجَأٌ Saya bertanya kepada Ibnu Abbas “Bagaimana kok demikian?” Ia menjawab “Itu, karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda”. [8]Ibnu Hajar menjelaskan perkataan Ibnu Abbas di atas sebagaimana berikut “Bila seseorang membeli bahan makanan seharga 100 dinar –misalnya- dan ia telah membayarkan uang tersebut kepada penjual, sedangkan ia belum menerima bahan makanan yang ia beli, kemudian ia menjualnya kembali kepada orang lain seharga 120 dinar dan ia langsung menerima uang pembayaran tersebut, padahal bahan makanan masih tetap berada di penjual pertama, maka seakan-akan orang ini telah menjual/menukar uang 100 dinar dengan harga 120 dinar. Dan berdasarkan penafsiran ini, maka larangan ini tidak hanya berlaku pada bahan makanan saja”.[9]Tinjauan Keempat Semua Nasabah Mendapatkan Bagi syariah mencampuradukkan seluruh dana yang masuk kepadanya. Sehingga tidak dapat diketahui nasabah yang dananya telah disalurkan dari nasabah yang dananya masih beku di bank. Walau demikian, pada setiap akhir bulan, seluruh nasabah mendapatkan bagian dari hasil/ ini menjadi masalah besar dalam metode mudharabah yang benar-benar Islami. Sebab yang menjadi pertimbangan dalam membagikan keuntungan kepada nasabah adalah keuntungan yang diperoleh dari masing-masing dana nasabah. Sehingga nasabah yang dananya belum disalurkan, tidak berhak untuk mendapatkan bagian dari hasil. Sebab keuntungan yang diperoleh adalah hasil dari pengelolaan modal nasabah selain mereka. Pembagian hasil kepada nasabah yang dananya belum tersalurkan jelas-jelas merugikan nasabah yang dananya telah fakta perbankan syariah yang ada di negeri kita. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila perbankan syariah dihantui oleh over likuiditas. Yaitu suatu keadaan dimana bank kebanjiran dana masyarakat/nasabah, sehingga tidak mampu menyalurkan seluruh dana yang terkumpul dari nasabahnya. Keadaan ini memaksa perbankan syariat untuk menyimpan dana yang tidak tersalurkan tersebut di Bank Indonesia BI dalam bentuk Sertifikat Wadi`ah. Sebagai contoh, pada periode Januari 2004 dilaporkan, perbankan syariat berhasil mengumpulkan dana dari nasabah sebesar 6,62 triliun rupiah, akan tetapi, dana yang berhasil mereka gulirkan hanya 5,86 triliun rupiah.[10]Tinjauan Kelima Metode Bagi Hasil yang kita datang ke salah satu kantor perbankan syariah yang terdekat dengan rumah kita, niscaya kita akan mendapatkan suatu brosur yang menjelaskan tentang metode pembagian hasil. Untuk dapat memahami metode pembagian hasil tersebut bukanlah suatu hal yang mudah, terlebih-lebih bagi yang taraf pendidikannya adalah metode bagi hasil yang diterapkan oleh salah satu perbankan syariah di IndonesiaBagi hasil nasabah = dana/saldo nasabah x E x Rasio/nisbah nasabah 1000 100E = pendapatan rata-rata investasi dari setiap 1000 rupiah dari dana dilihat dengan jelas,bahwa salah satu pengali dalam perhitungan hasil pada skema di atas adalah total modal dana nasabah. Adapun dalam akad mudharabah, maka yang dihitung adalah keuntungan atau hasilnya, oleh karenanya akad ini dinamakan bagi Nawawi al-Bantaani berkata, “Rukun mudharabah kelima adalah keuntungan. Rukun ini memiliki beberapa persyaratan, di antaranya, keuntungan hanya milik pemodal dan pelaku usaha. Hendaknya mereka berdua sama-sama memilikinya, dan hendaknya bagian masing-masing dari mereka ditentukan dalam prosentase.” [11]Inilah yang menjadikan metode penghitungan hasil dalam mudharabah yang benar-benar syar’i sangat simpel, dan mudah dipahami. Berikut skema pembagian hasil dalam akad mudharabahBagi hasil nasabah = keuntungan bersih x nisbah nasabah x nisbah modal nasabah dari total uang yang dikelola oleh antara dua metode di atas dapat dipahami dengan jelas melalui contoh Ahmad menginvestasikan modal sebesar Rp. dengan perjanjian 50 % untuk pemodal dan 50 % untuk pelaku usaha bank, dan total uang yang dikelola oleh bank sejumlah 10 miliar. Dengan demikian, modal Pak Ahmad adalah 1 % dari keseluruhan dana yang dikelola oleh akhir bulan, bank berhasil membukukan laba bersih sebesar 1 miliar. Operator bank -setelah melalui perhitungan yang berbelit-belit pula- menentukan bahwa pendapatan investasi dari setiap Rp. adalah Rp 11, kita menggunakan metode perbankan syariat, maka hasilnya adalah sebagai berikut x 11,61 x 50 = Rp. 1000 100Dengan metode ini, Pak Ahmad hanya mendapatkan bagi hasil sebesar Rp bila kita menggunakan metode mudharabah yang sebenarnya, maka hasilnya sebagai berikut x 50 x 1 = 100 100Dengan metode penghitungan hasil mudharabah yang sebenarnya, Pak Ahmad berhak mendapatkan bagi hasil sebesar Rp Metode pembagian yang diterapkan oleh bank berbelit-belit dan merugikan lebih rumit lagi adalah metode bank dalam menentukan pendapatan rata-rata investasi dari setiap 1000 rupiah. Berikut salah satu contoh dari metode yang diterapkan oleh salah satu perbankan syariat di IndonesiaE = total dana nasabah – Giro Wajib Minimum x Total pendapatan x 1000 Total Investasi Total dana nasabahMetode perhitungan bagi hasil yang berbelit-belit ini, membuktikan bahwa perbankan syariat yang ada tidak menerapkan metode mudharabah yang sebenarnya. Dari sedikit pemaparan di atas, kita dapat simpulkan bahwa perbankan syariat yang ada hanyalah sekedar nama besar tanpa ada hakikatnya. Bahkan yang terjadi sebenarnya hanyalah upaya mempermainkan istilah-istilah syari’ PERBANKANUntuk menyiasati beberapa kritik di atas, maka berikut beberapa usulan yang mungkin dapat diterapkan oleh perbankan yang benar-benar ingin menerapkan sistem perbankan yang Pemilahan Nasabah Berdasarkan Tujuan global, kita dapat mengelompokkan nasabah yang menyimpan dananya di bank menjadi dua kelompok besar. Kelompok pertama, nasabah yang semata-mata bertujuan untuk mengamankan hartanya. Kelompok kedua, nasabah yang bertujuan mencari keuntungan dengan menginvestasikan dananya melalui jalur perbankan yang kelompok nasabah ini memiliki hak dan kewajiban yang berbeda-beda, sebagaimana yang telah dijabarkan di atas. Berdasarkan pemilahan ini pula, pihak operator perbankan dapat menentukan hak dan kewajibannya terhadap masing-masing kelompok. Dana yang berhasil dikumpulkan oleh bank dari nasabah jenis pertama dapat dimanfaatkan dalam membiayai berbagai usaha yang menguntungkan, dan sepenuhnya keuntungan yang diperoleh menjadi milik bank. Dari hasil investasi dengan dana nasabah jenis pertama ini, bank dapat membiayai operasionalnya. Bahkan tidak menutup kemungkinan, bahwa bank akan mendapat keuntungan yang surplus bila dibanding dana antara keuntungan pemilahan ini, perbankan akan terhindar dari over likuidasi, karena bank tidak akan pernah menerima dana investasi, melainkan setelah membuka peluang usaha yang benar-benar halal dan dibenarkan. Sebagaimana pihak perbankan tidak berkewajiban untuk memberikan keuntungan kepada nasabah, kecuali bila dananya benar-benar telah disalurkan dan menghasilkan keuntungan. Dengan cara ini pula, prinsip mudharabah benar-benar akan dapat diterapkan, sehingga penghitungan hasil akan dapat ditempuh dengan metode yang simpel dan transparan, yaitu dengan mengalikan jumlah keuntungan yang berhasil dibukukan dengan nisbah masing-masing Perbankan Terjun Langsung ke Sektor telah diketahui bersama, bahwa untuk menjalankan operasional, suatu bank pasti membutuhkan dana yang tidak sedikit. Oleh karena itu, agar bank terkait dapat memenuhi kebutuhannya ini, ia harus memiliki berbagai unit usaha nyata yang dapat menghasilkan keuntungan. Tidak sepantasnya perbankan hanya mencukupkan diri dengan menjadi pihak penyalur dana semata, tanpa terjun langsung dalam usaha nyata. Dengan demikian, keuntungan yang didapatkan oleh bank benar-benar keuntungan yang halal dan bukan hasil menghutangkan dana kepada pihak ketiga. Selama perbankan tidak terjun langsung dalam dunia usaha nyata dan hanya mencukupkan dirinya sebagai penyalur dana nasabah, maka riba tidak akan pernah dapat cara ini, keberadaan perbankan syariah akan benar-benar menghidupkan perekonomian umat Islam. Karena dengan cara ini, perbankan pasti membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat. Sebagaimana perbankan Islami akan menjadi produsen sekaligus konsumen bagi produk-produk yang beredar di konsekuensi dari hal ini, tentu kedua belah pihak yaitu nasabah yang menginvestasikan dananya ke proyek-proyek perbankan dan juga pihak operator bank siap untuk menanggung segala risiko dunia usaha. Pemodal menanggung kerugian dalam bentuk materi, dan pelaku usaha menanggung kerugian Perbankan Menerapkan MudharabahPada saat sekarang ini, amanah dan kepercayaan susah untuk didapatkan, bahkan yang sering terjadi di masyarakat kita ialah sebaliknya; pengkhianatan dan kedustaan. Oleh karena itu, sangat sulit bagi kita, terlebih lagi bagi suatu badan usaha untuk menerapkan sistem mudharabah dengan sepenuhnya. Untuk mensiasati keadaan yang memilukan ini, saya mengusulkan agar perbankan syari’at yang ada menerapkan mudharabah sepihak. Yang saya maksud dengan mudharabah sepihak ialah, perbankan menerima modal dari masyarakat untuk menjalankan berbagai unit usaha yang ia kelola, akan tetapi perbankan tidak menyalurkan modalnya ke masyarakat dengan skema mudharabah. Dengan cara ini, dana nasabah yang disalurkan ke perbankan syari’ah dapat dipertanggungjawabkan dengan jelas, dan perbankan terhindar dari berbagai kejahatan pihak-pihak yang tidak memiliki amanah dan rasa takut kepada Allah Ta’ akhirnya, apa yang kami paparkan di atas adalah semata-mata sebatas ilmu yang kami miliki. Sehingga bila didapatkan kebenaran, maka itu adalah murni berasal dari taufik dan inayah Allah Ta’ala. Sebaliknya, bila terdapat kesalahan, maka itu bersumber dari setan dan kebodohan kita mendapatkan taufiq dari Allah Subhanahu wa Ta’ala , sehingga dapat meninggalkan riba beserta seluruh piranti dan perangkapnya, dan dimudahkan untuk mendapatkan rizki yang a’lam bish-shawab.Penulis adalah Kandidat Doktor Fiqih, Fakultas Syariah Universitas Islam Madinah – Saudi Arabia[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]_______Footnote[1] Raudhah ath-Thalibin, Imam an-Nawawi 5/132. Silakan baca juga at-Tahzib, Imam al-Baghawi 4/392, Mughnil-Muhtâj, asy-Syarbini 2/314 dan Syarikatul-Mudharabah fil-Fiqhil-Islâmi, Dr. Sa’ad bin Gharir bin Mahdi as-Silmu hlm. 202.[2] Al-Mughni, Ibnu Qudamah al-Hambali, 7/156.[3] Lihat al-Aziz, ar-Rafi’i 6/27-28, Raudhah ath-Thalibin, Imam an-Nawawi 5/132, al-Mughni, Ibnu Qudamah 7/158, Mughnil-Muhtâj, asy-Syarbini 2/314 dan Syarikatul-Mudharabah fil-Fiqhil- Islâmi, Dr. Saad bin Gharir as-Silmy hlm. 202.[4] Metode ini membuat kita kesulitan untuk mendapatkan perbedaan yang berarti antara perbankan syariah dengan perbankan konvensional. Dan mungkin inilah yang menjadikan negara-negara kafir pun ikut berlomba mendirikan perbankan syariah. Bahkan beberapa negara kafir tersebut –misalnya Singapura- telah memproklamirkan diri sebagai pusat perekonomian syariah perbankan syariah. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila Majalah Modal melansir pernyataan bapak Muhaimin Iskandar Wakil Ketua DPR RI “Tidak ada istilah ekonomi syariah dan ekonomi non syari’ah, karena itu hanya soal penamaan saja”. Lihat Majalah Modal, Edisi 18/II April 2004, hlm. 19.[5] Lihat al-Mughni, Ibnu Qudamah 7/145, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah 38/64.[6] Bank Syariah, dari Teori ke Praktek, Muhammad Syafi’i Antonio, hlm. 171.[7] Walaupun pada sanadnya ada Muhammad bin Ishak, akan tetapi ia telah menyatakan dengan tegas bahwa ia mendengar langsung hadits ini dari gurunya, sebagaimana hal ini dinyatakan dalam kitab at-Tahqîq. Lihat Nasbu ar-Rayah 4/43 dan at-Tahqîq 2/181.[8] Riwayat Bukhari dan Muslim.[9] Fat-hul-Bâri, Ibnu Hajar al-Asqalani, 4/348-349.[10] Majalah Modal, Edisi 19/II-MEI 2004, hlm. 25.[11] Nihayatu az-Zain, Muhammad Nawawi al-Jawi, hlm. 254.
bank syariah rekomendasi ustadz erwandi